NASIB JANDA PAHLAWAN KESEJAHTERAAN

Pkh pringgabaya Ini sebuah kisah, Kisah tentang kami, yang konon ceritanya menjadi "pejuang kesejahteraan masyarakat".

Kami adalah pendamping gelombang pertama angkatan ketiga di tahun 2007. Meski angkatan ketiga, kamilah yang pertama menjejakkan kaki di BBPPKS Lembang, dalam kapasitas sebagai Pendamping PKH, bersama dengan angkatan kesatu dan kedua.

NASIB JANDA PAHLAWAN KESEJAHTERAAN

Dari tidak saling mengenal, menjadi saling mengenal. Dari yang hanya tegur sapa, menjadi lebih larut dalam suasana kekeluargaan.

Saya dengan salah seorang pendamping seangkatan, kebetulan satu kecamatan, menjadi lebih akrab. Tak pernah lagi merasakan jarak. Meski ia dipilih oleh kami menjadi koordinator kecamatan, namun suasana kekeluargaan menjadi semakin hangat. Tak hanya dengan pribadinya, saya sertakan anak dan istri untuk lebih mengenal dan akrab dengan keluarganya pula.

Kami tak pernah sungkan untuk saling memberi dan meminta pinjaman keuangan, dikala situasi sering memaksa untuk bertahan.

Hingga tak terasa, sepuluh tahun sudah kami berjuang bersama. Kebahagiaan kami memuncak, ketika ia lulus semua test calon Koordinator Kabupaten (Korkab).

Tepat di bulan pertama tahun ke sebelas, ia mulai menata rencana-rencana yang dulu selalu tertunda. Tak perlu menunggu SK, dengan semangat ia lakukan tugas fungsi baru sebagai Korkab. Semua tugas tertunda segera ia tuntaskan. Semua rencana, semangat ia kerjakan.

Hingga pada suatu pagi. Kami mendengar kabar yang mengejutkan. Ia terjatuh hingga kepalanya terbentur ke lantai dengan sangat keras, di dalam rumahnya. Kondisinya dalam keadaan koma. Belum sempat kami menyusul ambulance yang membawanya ke rumah sakit, kabar kematiannya mendahului sangat cepat. Semua haru dan tak percaya, sambil mengenang dan membicarakan jasa-jasanya yang luar biasa. Hingga kabar itu menyeruak ke seluruh nusantara.

Kemarin, seorang wanita lusuh-lunglai, dengan dua orang anak yang masih sangat kecil, datang ke rumah, sambil membawa kantong berisi pakaian yang ditawarkan. Disambut oleh istri saya dengan kehangatan. Tak lama berselang, saya pun ikut menyambut. Namun, ketika saya bersalaman, tergambar raut muka kesedihan, seolah tak kuasa. Saya lihat dalam raut mukanya, seolah mengenang sosok yang ia rindukan. Dan sosok itu yang ia tahu selalu bersama saya dalam canda dan tawa.

Di sela obrolan dia mengiba, memohon untuk didaftarkan sebagai peserta PKH, mengingat ia tak lagi punya sanak saudara, ia seorang diri harus menghidupi dua anak yatim, buah hati ia dengan sang pejuang sosial.

Saya hanya bisa termenung... memikirkan cara atas permintaannya, mengingat tempat tinggalnya pun berada dalam desa dampingan saya.

Yang lebih iba, tak pernah ia dapatkan gaji pertama ayah si yatim di bulan pertama tahun kesebelas, tepat dimana ia tunaikan kewajiban Korkab, hingga ajal menjemput dengan sangat cepat.

Saya tak percaya, tapi ini nyata. "Kesengsaraan" datang begitu cepat pada nasib keluarga sang Pendamping PKH yang ditinggalkan. Sementara yang bersuara menuntut jaminan kepastian masa depan, dan kepastian pengangkatan, dianggap oleh sebagian lagi, sebagai sesuatu yang berlebihan. Selalu dipatahkan oleh pernyataan; "lakukan tugas dengan ikhlas". Atau pernyataan "menjadi pendamping PKH itu pilihan. Nyaman lanjutkan, tak nyaman tinggalkan". Padahal, ketika kami lulus sepuluh tahun lalu, usia kami masih sangat enerjik dan produktif. Ketika kami harus mengambil keputusan resign di tahun kesepuluh, dengan usia yang tak lagi muda, "perusahaan" mana yang membutuhkan? Padahal dengan pengalaman sepuluh tahun, seharusnya sudah cukup waktu untuk ditetapkan sebagai "karyawan tetap", atau apalah istilah lainnya, hingga kami tidak lagi digalaukan oleh ketidakpastian, dan nasib keluarga kami kelak, jika terjadi hal yang tidak diharapkan.

Saya hanya berharap, stop mematahkan semangat kawan-kawan yang menyuarakan hak kepastian masa depannya, terutama yang telah mendedikasikan dirinya sejak PKH dilahirkan (2007). Saya melihat ada begitu banyak potensi keluarga Pendamping PKH yang bisa bernasib sama, seperti teman saya di atas.

Meski bagaimanapun, perjuangan kami di tahun 2007 sangat berat, harus mendorong kesuksesan program ini secara nasional, di tahun, dimana masih hangat-hangatnya program BLT diluncurkan, yang sampai memakan korban jiwa di beberapa daerah. Saya adalah yang bersama dengan almarhum, menghadapi amukan masyarakat yang tidak puas karena tidak masuk kepesertaan PKH. Kursi-kursi melayang di hadapan meja kami. Dan itu nyata saya alami, disaksikan mata kepala sendiri.

Di tahun itu, kami berusaha mensosialisasikan ke semua elemen masyarakat, bahwa PKH berbeda dengan BLT atau BLSM. Tapi mereka tak mau tahu.

Seandainya kasus-kasus itu tidak berhasil kami selesaikan, entahlah... apakah program ini berlanjut hingga saat ini, atau tidak.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat, semoga tulisan ini pula, dapat mengetuk pintu hati bapak/ibu, pembuat kebijakan di PKH.

Tulisan ini saya dedikasikan untuk Almarhum LILI HAMBALI. Korkab PKH Kabupaten Subang, yang tak pernah mendapatkan haknya sebagai "Korkab", dan tidak mendapatkan apresiasi atas dedikasinya selama sepuluh tahun mengabdi di PKH.

Oleh : Husnul Yakin Ali
(teman seperjuangan almarhum)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »